Hujan
semakin deras. Tangisku pun semakin keras. Aku ingin meluapkan semua
kekesalanku. Aku ingin berteriak pada hujan. Aku ingin menyuarakan isi hatiku
pada petir. Kesal dalam hatiku tak dapat aku bendung lagi. Aku membencinya. Atau
lebih tepatnya aku mulai membencinya.
Empat
tahun tak berarti. Semua kebahagiaan menghilang bersama derasnya air hujan yang
mengalir deras menuju laut. Peristiwa siang ini sungguh membuat kakiku tak
mampu berdiri tegak. Pemandangan yang tak ingin aku lihat terlihat jelas di
depan mataku. Aku melihatnya berdua dengan orang. Seseorang yang selama empat
tahun bersamaku, berbagi cerita rahasia, berbagi kasih sayang. Siang ini
membuat luka hatiku.
Aku tak mampu menguasai pikiran dan hatiku. Keduanya saling berlomba argumen. Tak ada yang mau mengalah. Logikaku mengatakan “Dasar bodoh, maunya dibohongi sama orang yang paling kamu percaya. Dia sudah pernah berbohong ke kamu. Dia sudah pernah mengkhianati kepercayaanmu. Misalkan saja dia bilang akan berubah, tapi apakah kertas yang sudah tergores tinta bisa putih kembali? apa gak mungkin dia akan melakukan hal yang sama? Sekali berbohong, dia akan mengulangi kebohongannya lagi untuk menutupi kebohongan yang lain.” Namun, hatiku berkata lain “Dia pernah menyayangimu. Dia pernah menjadi orang yang paling romantis sedunia. Dialah orang yang selalu mengantakanmu ke dokter ketika kamu sakit. Dialah orang yang tak pernah jera ketika kecerewetanmu membuat ulah. Dialah orang yang menjagamu ketika orang tuamu tak bisa menjagamu dari dekat. Ingatlah kebaikan-kebaikannya. Tak ada manusia yang sempurna. Kamu sangat marah karena kamu sayang kepadanya. Perbedaan benci dan sayang memang sangat tipis.”
“Aaaaahhhhh.....” aku tak mampu menyalahkan argumen dari akalku tapi aku juga tak mampu menyangkal perasaanku yang masih menyayanginya. Tapi aku harus segera memutuskan langkahku. Aku tak mau berlarut-larut seperti ini.
“kring...”
“Hallo...apa
kabar sayang?”
“Dik...maaf,
aku ingin pindah keluar kota dan kamu tau kan kalau aku tak bisa LDR.”
“Maksudmu
apa cit?”
“Aku
ingin kita bersahabat saja dik. Maaf. Terimakasih atas semua pengorbanan yang
selama ini kamu lakukan. Aku berhutang jasa padamu. Terimakasih. Klik.”
Aku tak mampu meneruskan bicaraku. Aku tak mau dia mendengarku menangis. Good bye my love. Thanks and sorry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar