Suasana
sangat hening. Tak ada suara yang terucap maupun terdengar. Hanya hembusan
angin yang terasa sangat dingin, sedingin badanku yang mulai kaku di tepian
pantai.
Tak
terasa perpisahanku dan dia sudah dua tahun yang lalu. Perpisahan yang sangat
menyayat hatiku, memecahkan kepalaku. Untungnya saja logikaku masih kuasa
menahan segala amarahku.
Perjodohan
itu masih terasa sangat memukulku, melemparku ke batuan karang yang sangat terjal.
Aku tak kuasa memikirkannya namun masalah itu tak kunjung pergi dari otakku.
Masalah itu sudah bersarang di pikiranku.
Ingin
rasanya mengikhlaskan kejadian dua tahun yang lalu di tepian pantai itu. Ingin rasanya
membebaskan perasaanku dari penjara hatiku. Tapi aku belum kunjung menemukan
cara yang paling tepat untuk melepaskan semuanya.
Gelapnya
hari mengajakku meninggalkan pantai itu. Aku berusaha melangkahkan kakiku yang
sudah melemas.
“Kring...”
“Hai
dik...masih ingat aku? Aku Cita. Maaf, hapeku hilang. Sekarang aku pakai nomer
ini. Oh ya, ini foto bayiku yang baru lahir tadi pagi. Namanya Dika. Sengaja aku
kasih nama mirip sama kamu, Diki. Lucu kan? Kapan nie kamu pamer anakmu ke aku?
Ayo ayo lekas nikah. Nanti anak kita, kita jodohkan saja.”
Tanpa
diminta pandangan kosong itu sirna menjadi berkaca-kaca. Bibir yang tak berucap
menyunggingkan senyum indah. Hati yang sepi menjadi berisi penuh semangat.
“Masih
ingatlah. Iya, lucu banget. Cantik karena namanya mirip kayak aku, aku kan
cakep.hahaha... gak mau ah jodoh-jodohin anak, biar mereka mencari cinta
sejatinya sendiri saja. Enak aja, sudah besarinnya bikin repot, mau nikahin aja
mau ikut repot-repot juga. Ogah ah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar