Tiba-tiba aku terdiam, aku melihat foto keluarga yang duduk anggun di atas meja belajarku. Senyuman terlihat jelas di wajah mereka tapi wajah lelah lebih terlihat jelas di foto ayah dan ibu. Wajah ibu yang cantik sudah mulai terlihat semakin tirus dan lelah. Wajah ayah pun terlihat seperti itu, diabetes yang menyerangnya sejak 2 tahun yang lalu membuat ayah menjadi kurus. Mataku tak lepas dari pengamatan wajah-wajah malaikat duniaku itu. Semakin kuamati, semakin terlihat perubahan-perubahan yang terjadi pada sosok keluargaku. Tak terasa kini aku dan adek sudah menjadi gadis remaja.
Lamunanku semakin dalam, ingatan tentang kejayaanku dalam hal pendidikan pun terlintas jelas di otakku. Kebanggaan akan prestasi yang selalu memuncak. Kegigihan dalam menuntaskan segala permasalahan sekolah. Support hangat yang selalu dihadirkan oleh orang tua. Dahulu semuanya terasa indah, terasa tak ada masalah yang tak akan mampu aku selesaikan dan akhirnya, akulah yang akan menjadi pemenang. Masa-masa itu masih sering teringat dan tak pernah aku lupakan bahwa aku pernah sangat bahagia.
Semakin dalam aku masuk dalam masa lalu yang penuh dengan kedamaian dan keindahan, semakin sedih rasanya hati ini. Semakin bertambah usia yang seharusnya diiringi dengan semakin banyaknya prestasi yang aku ukir ternyata tak dapat aku lakukan. Kegagalan tes yang aku alami 5 tahun silam telah merubah susunan otakku menjadi tak karuan. Dahulu rasanya hanya perlu waktu 5 menit untuk menghafal hal yang bisa aku ingat hingga 5 bulan ke depan tapi tak terjadi pada saat sekarang, mungkin aku cuma bisa mengingat selama 5 bulan hal yang sudah aku coba untuk menghafalnya selama 5 minggu. Penurunan intelegensi akibat stres karena gagal tes, itulah diagnosisku atas masalahku.
Air hangat yang mulai dipompa oleh kelenjar lakrimalis sudah mengeluarkan air mata dan membasahi pipiku. Menyalahkan diri sendirilah yang selalu aku lakukan, solusi yang tidak menghasilkan, pikirku ketika otakku bisa diajak berpikir sehat tapi tidak ketika emosi sudah menguasai pikiranku. Perasaaan berdoa dan durhaka tak jarang menyelimuti diriku. Rasanya tak ada manfaatnya aku sekolah kalau hanya menghabiskan uang untuk pendidikanku, namun hanya menghasilkan nilai yang menjijikkan.
Sering sekali aku merasa perlu untuk memeriksakan diriku ke psikiater untuk memastikan apakah aku benar-benar sehat atau aku sudah sakit jiwa. tapi sampai sekarang pun aku belum melakukan hal itu. Rasa malu ternyata masih mau menemani hidupku. Rasanya sekarang rasa malulah yang paling melindungiku, bukan rasa percaya diri tinggi lagi yang selalu menggandeng tanganku dulu. Dahulu aku selalu merasa dibutuhkan karena aku memang dibutuhkan, namun bukan diriku yang dibutuhkan tapi lebih tepatnya adalah otakku. Namun hal itu tak berlaku untuk sekarang, yang ada sekarang adalah aku seperti tak ada dan membutuhkan orang lain lah yang lebih sering aku lakukan saat ini. Perubahan drastis yang belum mampu aku pulihkan lagi tapi aku masih ingin pulih, aku masih ingin selalu dianggap ada. Akankah semuanya akan kembali lagi? Berapa lama lagi aku harus menunggu supaya jati diriku yang dulu bisa menjadi milikku kembali? Aku masih pantas, iya, aku masih pantas untuk menjadi yang terbaik lagi, kita masih pantas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar